gaulislam edisi 869/tahun ke-17 (11 Zulhijah 1445 H/ 17 Juni 2024)

Nggak salah kok anak muda punya kuasa. Ada baiknya, malah. Asalkan, tentu saja, meraih kuasa jabatan dengan benar dan baik, sesuai prosedur yang berlaku. Sebab, menjadi penguasa, kalo udah nggak jujur sejak dalam pikiran, maka tindakan pun bakalan ngaco bin ngawur. Kalo nggak jujur dalam meraih kuasa, bukan tak mungkin bakal bertindak ngawur saat berkuasa kelak. Kalo sejak awal jadi boneka kekuasaan, maka meski dia berkuasa sejatinya yang mengendalikan dia adalah tuannya. Punya kuasa di usia muda boleh aja, tetapi kudu punya kemampuan, punya tanggung jawab, kudu jujur, punya visi dan misi ketika menjalankan kekuasaan. Nggak asal aja. Jangan juga menabrak aturan dan mengubahnya agar bisa berkuasa. Nggak begitu konsepnya, Bro.

Kalo tetap maksa meski melanggar etika dan aturan, itu namanya curang bin lancung. Kalo merasa ada yang mendorong karena dirinya nggak punya kapasitas dan kapabilitas, berarti dia boneka. Kalo yang nyuruh dia jadi pejabat dan penguasa adalah ortunya yang juga adalah orang nomor satu di negerinya, padahal dia mungkin sadar diri nggak punya pengalaman memimpin, maka dipastikan ortunya sudah menjerumuskan dia. Duh, demi kekuasaan sampe segitunya. Emang mau nambah berapa tahun sih pengen berkuasa sehingga memaksakan seluruh keluargannya jadi penguasa? Eh, memangnya ada yang begitu? Ada, di negeri Konoha, katanya.

Jadi anak muda punya kemampuan hebat, itu luar biasa. Bahkan sudah banyak dalam sejarah Islam. Ada panglima perang termuda (seperti Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu yang usianya baru 18 tahun ketika memimpin kaum muslimin untuk jihad melawan Romawi). Bahkan ada para khalifah (pemimpin negara) seperti al-Muqtadir Billah, yakni khalifah ke-18 Bani Abasiyah yang berusia 13 tahun, lebih muda dari para khalifah remaja lainnya, misalnya Khalifah ke-3 Umayyah, Mu’awiyah bin Yazid bin Mu’awiyah (dikenal sebagai Muawiyah II) yang berkuasa saat berusia 17 tahun. Khalifah ke-13 Abbasiyah, al-Mu’tazz, berkuasa saat berusia 19 tahun. Begitu pula Khalifah ke-28, al-Mustazhir Billah, yang berusia 16 tahun saat dibaiat menjadi Khalifah.

Belum lagi kalo bicara anak muda (di bawah usia 20 tahun) yang berprestasi di bidang keilmuan. Islam nggak kekurangan para ulama. Sebagai contoh saja, yang paling fenomenal adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, yang lebih dikenal dengan nama Imam asy-Syafi’i. Beliau sudah mulai berfatwa pada usia 17 tahun. Selain beliau, ada beberapa ulama yang berusia di bawah 20 tahun, di antaranya Mas’ud bin Muhammad bin Mas’ud al-Thuraitsitsi, Abu al-Barakat Ibnu Taimiah, Muhammad bin Husein Hibatullah al-Shawi, Muhammad bin Ali al-Syaukani al-Shan’ani, dan lainnya.

Eh, ngomong-ngomong usia muda, apalagi kalo para pemain sepakbola, pasti muda semua itu. Kalo udah tua, ya nggak kuat fisiknya. Bisa lari sih, tapi nggak bisa nendang bola karena keburu capek. Bisa nendang bola, tetapi kapayahan diajak adu lari. Beda ama anak muda, kuat fisiknya. Tuh, yag lagi berlaga di Euro 2024, rata-rata usianya di bawah 30 tahun. Itu pun yang usia 28 tahun dianggap sudah terlalu tua untuk seorang pemain sepakbola profesional. Wah? Eh, kalo secara individu (bukan rata-rata anggota tim) ada juga yang di bawah 20 tahun. Ya, di timnas Spanyol ada pemain paling muda yang berlaga di Euro 2024 yakni Lamine Yamal, yang baru akan berusia 17 tahun pada 13 Juli 2024.

Muda punya nama

Sobat gaulislam, setiap manusia normal itu nggak mau sekadar dianggap bilangan apalagi sekadar pelengkap, tetapi juga ingin diperhitungkan alias dianggap memiliki kelebihan. Itu artinya, punya kemampuan. Istilah lainnya kalo sampe prestasinya luar biasa, jadi punya nama, nama besar. Dikenal banyak orang dari generasi ke generasi. Diceritakan secara turun temurun. Siapa sih yang nggak kenal nama-nama para nabi, para sahabat nabi, para tabiin, pengikut tabiin, para ulama setelahnya. Termasuk para ilmuwan dari masa ke masa, baik yang muslim maupun ilmuwan nonmuslim di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka terkenal karena prestasinya. Dan, itu bisa jadi sudah dirintis sejak mereka kecil. Sehingga orang banyak menganggap pencapaian mereka ke puncak yang lebih tinggi adalah pantas dan wajar.

Namun, yang jadi persoalan adalah tiba-tiba muncul. Padahal nggak memiliki pengalaman terkait bidang yang diembannya. Dia dikenal hanya karena bapaknya terkenal dan memiliki kekuasaan. Kalo nggak, ya sama aja dengan anak muda lainnya. Jangankan bisa meraihnya, kesempatannya aja belum tentu didapat. Apakah dengan menjadi anak dari orang tua yang memiliki nama besar akan langsung ikut menjadi memiliki nama besar juga?  Belum tentu. Apalagi kalo tak memiliki kemampuan yang sama atau tidak lebih baik dari ortunya. Paling banter hanya diketahui sebagai anak dari orang tua yang sudah dikenal dan punya nama yang sering disebut oleh media massa dan diingat banyak orang.

Hidup memang perlombaan, tetapi bagi kita sebagai muslim adalah berlomba dalam kebaikan. Fastabiqul khairat. Ada banyak anak muda yang berlomba ingin jadi juara di bidang ilmu pengetahuan, ada yang ingin meraih ketenaran di bidang olahraga, ada pula yang ingin populer di media sosial, dan masih banyak lagi. Nggak salah, selama yang dilakukanya untuk kebaikan dan menginspirasi kebaikan. Berarti kontennya kudu selektif. Mana yang boleh dan mana yang nggak boleh. Jangan berpikir yang penting viral dan dikenal. Maka, seringkali hal-hal konyol dan hoax pun disebar. Sebab, biasanya yang begituan umumnya diminati. Memang pada akhirnya punya nama, tetapi nama buruk yang didapat sesuai konten buruknya yang disebar. Ngeri.

Kita sih pengennya masih muda dan punya nama baik. Nggak asal punya nama dan terkenal. Para nabi jelas orang-orang baik dan dipilih Allah Ta’ala untuk menyebarkan kebaikan dan mengajak manusia kepada kebaikan (tauhid). Para sahabat nabi juga menjadi teladan bagi kaum muslimin dalam kebaikan. Para ulama pun demikian. Mereka punya nama baik semuanya. Gimana dengan Raja Namrud dan Firaun? Mereka terkenal kok dan punya nama, tapi dalam keburukan. Abu Jahal dan Abu Lahab serta para begundal Quraisy yang membenci dan memerangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya juga punya nama. Terkenal. Namun, Abu Jahal dan Abu Lahab terkenal sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Nggak banget, lah!

So, masih muda boleh aja punya nama alias terkenal dan dikenal luas oleh masyarakat. Tentu, dalam kebaikannya, bukan dalam keburukannya. Rugi banget kalo dikenal dalam keburukan.

Meraih kuasa dengan dosa?

Sobat gaulislam, kalo sampe ada yang ingin meraih kuasa tapi untuk meraihnya malah melakukan dosa, ya nggak banget, sih. Pengen berkuasa tapi prosesnya curang. Pengen jadi pejabat tapi memilih cara bejat dalam meraihnya. Itu namanya menabur bencana karena berbuat dosa. Beneran. Jadi, ketika memulainya saja sudah dengan cara yang salah, maka biasanya juga akan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya ketika sudah berkuasa. Sama kayak orang yang selalu berbohong. Dia akan terus berbohong karena ketika satu kebohongan terungkap maka dia akan terus mempertahankan kebohongannya dengan cara berbohong. Begitu seterusnya. Itu rumus sebenarnya. Jangan tergoda berbuat dosa. Jangan culas dan jangan curang.

Jadi, sebelum kebelet pengen berkuasa, ada baiknya mikir dulu. Ngukur diri sendiri. Kira-kira pantas apa belum. Layak atau nggak. Mampu atau tidak. Jadi harus jujur pada diri sendiri. Jangan sampe menipu diri sendiri. Mentang-mentang ada yang nyuruh dan mendukung lalu sat set langsung menerima tawaran tersebut meski secara fakta nggak punya ilmunya, minus pengalaman, dan nggak mampu secara konsep dan manajerial. Itu namanya nekat, nggak tahu malu. Beneran. Model begini, dikhawatirkan atau sudah terbukti memang akan diupayakan dengan melakukan kecurangan supaya bisa meraih apa yag diinginkan. Sebab, yang kepengen bukan cuma dia, tetapi banyak orang di sekelilingnya.

Nah, yang paling penting lagi. Kalo emang siap berkuasa, maka kudu siap bertanggung jawab. Ini yang kayaknya nggak dipikirkan sama yang kebelet pengen berkuasa atau semacam iseng-iseng berhadiah mumpung ada yang mendukung. Rasa-rasanya nih, kalo tahu bahwa jadi penguasa itu berat tanggung jawabnya, kayaknya pada nggak mau menjadi pemimpin. Namun yang terjadi saat ini, mereka yang kebelet pengen jadi pemimpin adalah yang centang perenang nggak tahu aturan. Orang model gitu, yang dilihat hanya enak bisa nyuruh-nyuruh orang, bisa di posisi yang dihormati, mau apa aja dilayani dan dikabulkan permintaannya, dan masih banyak kesenangan semu lainnya.

Padahal, tanggung jawabnya juga besar dan berat. Kalo orang yang ngerti dan tahu diri serta waras, berpikir ulang kalo pun mau jadi pemimpin. Ujiannya berat. Biasanya menghindari. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kebanyakan orang hanya bisa selamat dari fitnah perbuatan fasiq dan maksiat jika mereka tidak diuji dengan banyaknya harta dan kekuasaan.” (dalam Jami’ul Masail, jilid 9, hlm. 53)

Berat tanggung jawabnya

Diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu Wail Syaqiq Bin Salamah bahwasanya ketika Umar radhiallahu ‘anhu menugaskan Busyur ibnu Asim radhiallahu ‘anhu untuk mengurus sedekah suku Hawazin, tetapi Busyur tidak mau menerimanya. Ketika ditanya, “Mengapa kamu tidak mau menerimanya?” Busyur menjawab, “Seharusnya aku menaati perintahmu, tetapi aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum Muslimin, maka di hari Kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun’.”

Lalu Umar keluar dengan wajah susah, ketika Abu Zar bertanya kepadanya, “Mengapa Anda terlihat amat susah? Umar pun menceritakan bahwa kesusahannya karena ia telah mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas yang disampaikan oleh Busyur Asim. Lalu Abu Zar pun membenarkan bahwa ia juga pernah mendengar hadis serupa. (dalam at-Targib jilid III, hlm. 441)

Kekuasaan itu dunia, kesenangan saat berkuasa juga ukurannya dunia. Jangan jadikan kekuasaan untuk tujuan dunia semata. Cetek banget kalo tujuan utamanya dunia dalam meraih kekuasaan. Pikirkan tanggung jawabnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Adapun dunia ini maka urusannya hina, yang dianggap besar darinya sebenarnya adalah kecil, puncak urusannya bermuara kepada kepemimpinan dan harta, puncak orang yang memiliki kekuasaan dia akan menjadi seperti Fir’aun yang ditenggelamkan oleh Allah di laut sebagai hukuman dari-Nya, sedangkan puncak orang yang memiliki harta dia akan menjadi seperti Qarun yang Allah benamkan ke dalam perut bumi sehingga dia di dalamnya terus menerus bergerak ke bawah hingga hari kiamat ketika dia menyakiti nabi utusan Allah, Musa.” (dalam ar-Risalah al-Qibrushiyyah, hlm. 23)

Itu sebabnya nih, buat anak muda yang kepengen banget berkuasa, ukur diri sendiri kira-kira pantas atau belum, layak atau nggak, mampu atau tidak, bisa bertanggung jawab atau malah nggak peduli dengan tanggung jawab. Jangan Cuma melihat enaknya aja, merasa senang aja kalo jadi pemimpin. Itu sih cara pandang bocil. Pengennya seneng aja. Ketika diminta tanggung jawab malah kabur.

Boleh aja masih muda sudah berkuasa, punya jabatan tinggi, dikenal banyak orang. Silakan. Tapi ingat, ada pertanggunganjawabanya kalo pun layak dan berhasil meraih kekuasaan. Kalo nggak punya kemampuan, nggak punya pengalaman memimpin, mending tiarap aja dulu. Belajar dulu, latihan dulu. Berproses. Jangan instan karena dibantu bokap and nyokap serta didukung orang-orang yang sudah disandera kepentingan pribadinya. Paham, ya. Sip. [O. Solihin | TikTok @osolihin_]