gaulislam edisi 866/tahun ke-17 (19 Zulqaidah 1445 H/ 27 Mei 2024)

Apa nggak malu tuh, peras rakyat dengan label tabungan? Janjinya sih duit yang diambil (paksa) dari para pekerja sekian persen dari uang gaji bulanannya itu akan diberikan rumah saat pekerja pensiun. Ah, banyak rakyat yang berpikir waras nggak percaya dengan program tersebut, minimal ragu. Buktinya banyak yang protes tuh di medsos. Khawatirnya, duit tak bisa diambil, rumah nggak mungkin kebeli. Jadi, apa pemerintah nggak malu bikin program yang justru menyengsarakan rakyat? Kalo nggak malu juga, ya namanya memalukan.

Belum lagi soal dinasti politik tuh, cawe-cawe presiden yang berpotensi terjadi kecurangan di pemilu kemarin aja udah ramai dibicarakan para pakar dan pengamat politik, termasuk rakyat biasa macam kita-kita ini. Banyak juga tuh remaja yang peduli soal politik. Soal cawe-cawe presiden, yakni anaknya didorong jadi cawapres (walau harus melalui keputusan kontroversial lembaga tinggi negara untuk melakukan perubahan batas usia), menantunya juga udah menjadi kepala daerah, eh sekarang anaknya yang satu lagi disiapkan untuk nyalon kepala daerah, padahal usianya belum genap 30 tahun sebagai batas minimal saat ditetapkan sebagai calon pada pendaftaran. Bukan cuma nggak malu, tetapi lebih memalukan karena ternyata ada lembaga tinggi negara yang mengabulkan perubahan batas usia calon kepala daerah. Itu gampang banget ya, ngubah-ngubah aturan? Malu sih mestinya, kalo berpikir waras.

Belum lagi sial banyaknya pejabat jadi koruptor. Kamu masih ingat kasus korupsi tambang timah yang berpotensi membuat kerugian negara sampai Rp 271 triliun? Belum lagi kasus korupsi lainnya yang masih belum kelar sampe sekarang. Silakan kamu susun deh berapa banyak kasus korupsi di negeri ini. Belum tuntas kasus korupsi, eh sekarang masih juga ditambah rencana penetapan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang digagas pemerintah. Banyak orang yang berpikir waras sih menolak karena janggal banget. Coba kamu hitung. Duit gaji para pekerja dipotong buat iuran program ini. Besarnya 3 persen dari gaji (2,5 persen duit pekerja, 0,5 persen dari perusahaan). Kalo gajinya lima juta rupiah sebulan, berarti autodebet tuh, Rp 150 ribu tiap bulan. Kalo setahun jadi Rp 1,8 juta. Seandainya pekerja masih kerja di perusahaan itu sampai 20 tahun ke depan, maka jumlah duitnya baru dapet Rp 36 juta. Pertanyaannya, apa ada rumah 20 tahun ke depan harganya segitu? Apa iya ada jaminan duitnya nggak dipotong untuk ini itu dan gampang diambil? Hadeuuh, silakan kamu pikir, layak atau nggak program kayak gitu. Pertanyaan tambahan: apakah para pejabat nggak malu nyusahin rakyat terus? Kalo nggak malu, ya berarti memalukan!

Apa yang dilakukan para pejabat dan politikus pendukungnya serta kroni-kroninya memang memalukan karena mereka culas dan tahan malu. Sebagaimana quote penutup di film Dirty Vote yang disampaikan Bivitri Susanti (salah seorang narasumber di film dokumenter tersebut), “Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu,” tandas Bivitri.

Bila tak malu, waspadalah

Sobat gaulislam, rasa malu itu mencegah kita dari berbuat yang bakal bikin malu. Emang mereka yang korupsi duit negara atau duit kantor atau duit kas OSIS nggak berpikir bahwa suatu saat akan ketahuan? Bayangkan sebelum nilep duit itu, “Gimana kalo ketahuan, ya? Gimana kalo sampe ortu tahu? Gimana nama baik keluarga besar? Dan pertanyaan lainnya yang bakal membuat orang berpikir ulang untuk melakukan sesuatu yang bakal bikin malu diri dan keluarganya. Tapi karena rasa malunya udah diinjek kuat-kuat, jadinya mereka nekat nilep duit yang bukan haknya.

Rasa malu mencegah seseorang untuk menganiaya orang lain, atau menghina orang lain, atau menipu dan membohongi orang lain. Rasa malu membuatnya menjaga diri. Nggak mau melakuan perbuatan nista. Kasus Vina Cirebon yang udah 8 tahun aja baru sekarang rame lagi usai ada film yang mengangkat tema tersebut. Meski fiksi, tetapi idenya dan jalan cerita berdasarkan kisah nyata. Mestinya kalo para penganiaya dan sekaligus pembunuh Vina dan pacarnya itu malu kalo bakal ketahuan atau kalo ketangkap membuat malu keluarga, ya nggak bakalan mereka lakukan. Tapi yang udah terjadi, mereka kayaknya adem ayem aja meski udah ngilangin nyawa orang. Ngeri.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari no. 3484, 6120)

Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR Muslim, no. 161)

Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR Abu Daud, no. 4014)

Menukil dari laman rumaysho.com, bahwa malu ada dua macam yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak sesama.

Pertama, malu yang berkaitan dengan hak Allah. Seseorang harus memiliki rasa malu ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia lakukan, baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.

Kedua, malu yang berkaitan dengan hak manusia. Seseorang juga harus memiliki rasa malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, ia tidak berperilaku yang tidak pantas (menyelisihi al-muru’ah) dan berakhlak jelek.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda (yang artinya), “Iman itu ada 60 lebih (atau 70 sekian) cabang. Iman yang paling utama adalah (ucapan) Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan malu termasuk cabang dari iman.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bener banget, kan? Kalo nggak punya rasa malu, apa aja bisa dilakukan. Nggak bisa mencegah dirinya dari melakuan kejahatan, keburukan, kemaksiatan, dan lainnya. Bebas gitu aja. Padahal, apa yang telah dilakukannya pasti bakalan diminta pertanggunganjawabnya di akhirat kelak. Apalagi bagi para pemimpin, hisabnya berat, Bro en Sis!

Itu artinya, pemimpin harus bisa bersikap adil, jujur, dan nggak semena-mena. Pemimpin tidak boleh mencelakai rakyat dan bangsanya. Pemimpin dilarang zalim.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS asy-Syura [42]: 42)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dia dari golongan kami.” (HR Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampakan sabdanya (yang artinya), “Setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.” Dalam hadis lain, disebutkan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam)

Dikasih nikmat, tapi nggak taat

Bagi kita, apalagi para pejabat yang menjadi pemimpin negeri ini, mestinya punya rasa malu. Jangan sampe lost alias nggak punya malu sama sekali. Gimana nggak, nikmat udah banyak yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, tetapi kita malah nggak taat sama yang ngasih nikmat. Nggak malu berbuat salah dan dosa. Padahal, udah dikasih nikmat yang banyak. Sebelumnya kekurangan, tetapi ketika dikasih nikmat berlebih, eh malah bikin dosa. Mestinya bersyukur, bukan malah maksiat. Itu namanya bukan saja malu, tetapi nggak tahu malu alias memalukan.

Ada nasihat bagus dari Imam Junaid al-Baghdadi rahimahullah. Beliau pernah ditanya seputar rasa malu. Lalu apa jawabannya? Beliau menjawab, “Malu adalah mampu melihat nikmat-nikmat Allah dan melihat kekurangan diri sehingga antara keduanya melahirkan sebuah keadaan yang disebut rasa malu.” (dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 218)

Oya, jiwa kita kadang tergoda untuk belok dari jalan lurus. Tergiur hawa nafsu yang mendorong kepada perbuatan buruk. Maka, tetaplah mengingat Allah Ta’ala. Jangan biarkan jiwa dikuasai hawa nafsu. Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Jagalah kalbu-kalbu ini (agar senantiasa mengingat Allah) karena ia sangat cepat lupa. Pukullah jiwa karena ia tidak punya malu. Kalau kalian terus memberi makan jiwa tersebut, ia akan membawa kalian pada tujuan yang paling buruk.” (dalam Hilyatul Aulia, jilid 2, hlm. 152)

Malulah pada diri sendiri. Malulah pada orang tuamu, malulah pada teman-temanmu, malulah pada guru-gurumu, malulah pada agamamu. Gimana pun juga, ketika jaringan pertemanan dan koneksi dengan banyak orang, maka akan melekatlah kita dengan orang-orang tersebut. Meski bukan mereka yang melakukan keburukan, tetapi pada akhirnya ketika keburukan yang kita lakukan diketahui orang lain, termasuk keluarga dan kenalan-kenalan kita, sangat boleh jadi mereka akan malu atas apa yang kita perbuat. Kebawa-bawa jadinya. So, pikirkan sebelum melakukan keburukan. Punya rasa malu, jangan membuat malu orang lain, dan jangan memalukan.

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seseorang jika kuat rasa malunya, maka dia akan menjaga kehormatannya, mengubur keburukan-keburukannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya.” (dalam Raudhatul ’Uqala’, hlm. 88)

Itu artinya, jaga rasa malu kita, terutama malu kepada Allah Ta’ala. Itu akan menjaga kita dari perbuatan buruk. Nggak akan menganggap enteng maksiat. Sebab, kita perlu introspeksi diri, bahwa bukan kecil atau besarnya dosa yang dilakukan, tetapi kepada siapa kita bermaksiat. Bilal bin Sa’ad berkata, “Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” (dalam ad-Daa’ wad Dawaa’ hlm. 82)

Imam al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang diusahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.” (dalam Fathul Baari, juz X, hlm. 522)

Insya Allah kita bisa mengupayakan agar rasa malu kita tetap tertanam di hati kita. Sehingga dijauhkan dari sifat tak tahu malu atau bahkan memalukan. Semoga Allah Ta’ala memudahkan ikhtiar kita agar tak hilang rasa malu dari hati kita. [O. Solihin | TikTok @osolihin_]