Dugem’ sekilas keliatan asyik. Tapi sadarkah kalau dugem juga bisa menyusahkan pelakunya sendiri. Kayak apa aja sih remaja dugem itu?

blog.dimasshogun.com/.../2008/07/clubbing-uk.jpg
blog.dimasshogun.com/.../2008/07/clubbing-uk.jpg

Marni, demikian teman-teman sekolahnya biasa memanggil dara manis berambut ikal sebahu ini. Nama Marni udah nggak asing lagi di kalangan teman sekolahnya yang rata-rata kaum the have. Anak bungsu seorang pengusaha sukses di kota hujan ini terkenal dengan gayanya yang suka bikin heboh. Kentara banget kalo doi anak borju. Bukan apa-apa, untuk sekadar pesta ultah aja doi sampe nyewa hotel berbintang. Di kalangan anak cowok, Marni boleh dibilang the most wanted girl. Bukan cuma karena tampangnya yang oke kalo dipajang di billboard iklan, tapi doi sekaligus bisa diporotin duitnya. Idih cowok macam mana pula itu?

Kamu mungkin nggak kepikiran kalo suatu saat bakalan menemukan anak model Marni jadi temanmu. Wuih, gimana rasanya ya? Atau jangan-jangan malah kamu sendiri yang punya tabiat macam gadis bertinggi badan 165 cm itu. Hmm… dunia gemerlap adalah bagian dari cita-cita dan jalan hidupnya. Yup, Marni jadi remaja dugem, alias dunia gemerlap. Bagaimana dengan kamu?

Teman pembaca, Marni adalah contoh kasus tentang fenomena dugem. Dan emang biasanya yang model begitu banyak ditemuin di kota besar, Non. Wajar dong. Di kota kan banyak banget fasilitas yang bisa bikin kamu jadi begitu. Kemajuan jaman emang udah bikin sebagian dari kita mampu menikmatinya dengan berlebih. Bagi kita, barangkali punya HP aja udah seneng bukan kepalang. Dengan begitu, komunikasi jadi lancar. Apalagi kalo kita orangnya mobile banget. Cocok. Tapi nggak bagi teman-teman kita yang ngakunya remaja dugem. Bagi mereka, fungsi saja nggak cukup. Selain bisa dipake ngobrol ngalor-ngidul, HP kudu gaul dan menghibur. Coba aja, hampir tiap bulan produk teknologi komunikasi ini perkembangannya melompat-lompat. Kita-kita mah nggak bisa ngikutin deh. Maksudnya, nggak tahan. Baru liat model yang menurut kita udah hebat, eh, bulan berikutnya udah ganti lagi dengan fitur-fiturnya yang mengoda. Jadi nggak beli-beli deh. Selain bingung milih, duitnya kagak ada Mas. Idih?

Bisa kebayangkan, kalo tiap bulan muncul produk HP baru, itu makin bikin remaja dugem tergoda pengen gonta-ganti telgam itu. Begitulah gaya mereka. Hmm.. apa nggak boros tuh?

Klasifikasi Remaja Dugem

Dugem alias dunia gemerlap adalah gaya hidup yang menuntut serba keren, cool, trendi dan mewah. Para pegiat dugem ini berusaha abis-abisan untuk tampil prima, khususnya di depan orang lain. Mulai dari bacaan, makanan, busana, tontonan sampai tongkrongan. Kalo bacaan biasanya majalah-majalah yang banyak memuat soal mode, gosip artis en tips bergaul dengan sesama dugemer (aktivis dugem). Ini penting, soalnya kalau seorang remaja dugem ketinggalan berita maka bakalan terlempar dari arena pergaulan para dugemer. Biasanya, yang diobrolin seputar tempat nongkrong yang baru en asyik punya (nggak termasuk WC umum), gosip artis, film bioskop macam Lord of The Ring, kalau olahraga pastinya sepak bola – apalagi menjelang Piala Dunia 2002 –, NBA atau balapan F1. Canggihan dikit mereka bicara soal internet atau handphone keluaran paling anyar. Ngobrolnya bisa di rumah temen yang kagak bikin boring atawa Be-te, atau kalau lagi tajir bisa juga di café. Kalau di mesjid kayaknya sih nggak deh, mungkin takut kualat.

Remaja dugem juga kenal klasifikasi alias pembagian golongan. Setidaknya itu yang disurvei oleh Surindo, satu badan survey nasional. Sekurangnya ada delapan segmen psikografis remaja di perkotaan, yang masing-masing mereka diberi nama (1) Remaja funky (15%), Remaja Be-Te (11,7%), Remaja Asal (8,6%), Remaja Plin-Plan (22,7%), Remaja Boring (16,8%), Remaja Ngirit (14,8%), dan Remaja Cool (10,3%).
Dalam surveinya Surindo menyebutkan kalau sebagian segmen ini kelihatan memberi harapan. Ada kelompok remaja yang sangat berhati-hati dalam berbelanja, tak mudah tertipu, mencari informasi sebelum membeli, terencana kritis, punya rasa percaya diri, dan punya perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Tapi, sebagian lagi terlihat cemas, ragu-ragu, tak konsisten, tak punya rencana masa depan, bahkan tak percaya orang lain sehingga tak membuka diri atau berorganisasi. Wajar kalau dalam berbelanja mereka sering tertipu (Remaja Be-Te). Bahkan ada yang percaya dirinya rendah, tapi gengsinya tinggi sekali (Remaja Asal). Ada lagi yang plin-plan, pas lagi ngetren lagunya si cewek centil Pink ikut beli kasetnya, Creed ngetop ikutan nembang My Sacrifice biar kelihatan gagah, ada Bond manggung ke Jakarta ikutan nonton. Eh, Goyang Dombret ngetop ikutan juga goyang. Dasar plin-plan.
Nah, kamu masuk klasifikasi yang mana? Moga-moga masuk kelompok yang kesembilan alias golongan RRI, Remaja Rajin Ibadah.

Bikin kantong bolong

Apa sih bahayanya dugem? Yang jelas biaya hidup untuk jadi remaja dugem itu nggak kecil. Sebaliknya, justru dengan maraknya gaya hidup dugem ini, udah berapa juta uang melayang. Ujungnya memang menciptakan remaja-remaja borju. Menciptakan rasa persaingan di antara mereka dengan persaingan yang tidak pada tempatnya. Iya dong. Sebab, mereka berlomba dalam dunia gemerlap. Apa nggak puas dengan apa yang dimiliki selama ini? Sehingga kudu berlomba ngadain pesta ultah di diskotik, di hotel berbintang. Atau sekadar gonta-ganti HP, bawa mobil keluaran terbaru. Hmm… itu semua harus ditukar dengan uang. Bukan daun. Sekali lagi uang. Bener-bener bikin tekor deh. Bisa kamu bayangkan, jika untuk tampil dugem, seorang remaja kudu mengeluarkan uang rata-rata 200 ribu perak seminggu. Sebulan udah 800.000 perak minimal duit melayang untuk dugem. Kira-kira, berapa penghasilan ortunya? Kebayangkan gimana hebohnya? Duh, sayang banget uang segitu banyaknya cuma dipake untuk hura-hura.

Teman pembaca, fenomena ini bikin miris kita. Terus terang aja kita prihatin dan merasa kasihan sama teman-teman kita yang udah terlanjur jadi aktivis dugem. Kita khawatir, kalo nanti ada banyak remaja yang perutnya udah nggak bisa lagi menerima makanan murah, karena kebanyakan diisi makanan mahal produk bule. Jangan-jangan pas diisi keluar lagi. Maklum, nggak nyetel lagi. Sebab, udah kebanyak mengkonsumsi makanan kelas atas dengan harga selangit. Wuah?

Nyata banget, dugem emang bikin kantong bolong. Yup, dugem telah menciptakan remaja-remaja yang boros dan nggak menghargai rizki yang selama ini diberikan kepadanya dari Allah Swt. Kasihan banget ya?

Bikin keras hati

Kebanyakan main bareng teman yang sok gengsi dan boros, kudu hati-hati. Bisa-bisa kita jadi ikutan gaya hidupnya. Namanya juga gengsi yang diprioritaskan, nggak heran dong kalo yang dilihat selalu masalah gaya, alias penampilan. Dan untuk itu, uang yang bicara dong. Uang dan uang. Ujungnya, kita bisa jadi nggak peduli sama tetangga kanan-kiri. Tetangga sebelah kanan kita menjerit kelaparan, kita asyik dengan makanan mahal dan doyan nonton konser musik yang karcisnya untuk sekali masuk bisa mencapai harga 100 mangkuk bakso (kalo satu mangkuk bakso harganya Rp 3.500). Hmm… itu hanya untuk memenuhi nafsu dugem kamu aja.

Itu artinya kamu udah puya hati sekeras batu. Kamu nggak gampang terenyuh dengan penderitaan teman or tetangga kamu. Kamu masih bisa tertawa di atas penderitaan orang lain. Ciee… puitis banget kayak Nicholas “Rangga” Saputra (hmm.. maunya).

Teman pembaca, terus terang kita nggak abis pikir. Coba aja bayangin, waktu Jakarta terendam banjir, itu kan pas lagi rame-ramenya launching Film A2DC?, alias Ada Apa dengan Cinta?. Coba, warga Jakarta yang kebanjiran nunggu antrian untuk ditolong, eh, sebagian yang lain, dari kita-kita ini, malah rebutan dan rela antri hanya untuk dapetin karcis bioskop 21. Hanya untuk nonton aksinya Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Hmm.. dunia… dunia.. Lebih parah lagi, sebagian orang seperti nggak peduli dengan banjir dan korban-korbannya malah ngadain peringatan eh pesta (agustusan kaliii?) Valentine’s Day di sejumlah hotel mewah.

Apakah rasa peduli kita udah pudar ditelan jaman? Apa iya kita tega menyaksikan saudara-saudara kita yang lagi menderita? Rasanya, jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, mungkin masih tersisa setitik perasaan iba kita. Namun perasaan itu nyaris tak bisa terdeteksi, karena kalah dengan gaya hidup dugem yang emang udah nguasai dirimu.

Benar apa yang dikatakan seorang pengamat bahwa budaya populer memang bergerak begitu cepat, sangat cepatnya, sampai-sampai tanpa sadar kita diminta dengan ikhlas (baca:dipaksa) tunduk dengan logic of capital, logika proses produksi di mana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku.  Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu trek lebih tinggi memang tidak memiliki kesempatan untuk renungan-renungan yang mendalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli. Nah, lho.

Nah, teman-teman. Apakah kita mau mengorbankan hati nurani, keimanan dan ukhuwah kita hanya untuk mengikuti gaya hidup yang gemerlap tanpa juntrungan? Sayang, kan? [O. Solihin]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Mei 2002]