Muhammad bin Zaid r.a. berkata: Beberapa orang datang kepada neneknya yaitu Abdullah bin Umar berkata: Kami jika masuk kepada raja, berbicara lain dengan apa yang kami bicarakan jika keluar. Maka berkata Abdullah bin Umar: Kami dahulu menganggap yang demikian itu nifaq kepada Rasulullah SAW.” (HR. Bukhari)

Sikap mendua hati, apalagi pikiran merupakan penyakit yang termasuk sulit dideteksi. Kita tak bisa dengan mudah mengetahui seseorang bersifat munafik atau tidak kecuali terbukti dari ucapan dan perbuatannya. Di masa Rasulullah ada seorang yang bernama Abdullah bin Ubay, yang kemudian terkenal sebagai tokoh munafik jempolan. Bagaimana tidak, Rasulullah SAW. saja hampir terkecoh dengan sikapnya, kalau saja Allah tidak memberitahu lewat wahyu. Sifat munafik ini memang sangat berbahaya, istilah musuh dalam selimut atau bahaya laten bisa dialamatkan kepada orang-orang bermuka dua tersebut.

Sejak jaman Rasulullah sampai sekarang, orang-orang munafik selalu paling depan dalam menghancurkan barisan. Ia bisa berdiri bersama kita, tapi di lain waktu ia bahkan berhadapan dengan kita dalam keadaan memoncongkan senjata. Menghadapi orang-orang bermuka dua ini kita harus ekstra waspada, mengingat sepak terjangnya bisa membuat di antara kita saling bunuh. Setidaknya pengalaman ‘peperangan’ antara kelompok Ali bin Abu Thalib r.a. dan Aisyah r.a. telah menjadi bukti hasil kerja para pemicu kerusuhan, yang ternyata mereka berada dalam barisan yang sama. Tak mengherankan pula bila kemudian akhir-akhir ini juga bermunculan para muka dua yang siap membubarkan kerapihan barisan kita. Dan tak mustahil kalau akhirnya adalah sebuah kehancuran yang kita terima.

Kewaspadaan kita harus betul-betul ditingkatkan dalam menghadapi aksi-aksi mereka yang sulit terdeteksi dengan cermat. Boleh dikatakan gampang-gampang susah menghadapi sikap kaum munafik. Namun, kita tak perlu cepat menyerah, Abu Hurairah r.a. berkata: Rasullah SAW. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; Jika bicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhori, Muslim). Dalam riwayat Muslim ada tambahan; meskipun ia puasa dan sholat, dan merasa diri sebagai seorang muslim. (Riadhus shalihin, Jilid I).

Repotnya, bicara dusta, berkhianat, mengingkari janji sudah menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat kita. Sangat mudah bagi seseorang dalam mengadu domba, menyebarkan fitnah (kedustaan) untuk menghancurkan kelompok masyarakat lain. Sehingga kita merasa kesulitan siapa sebenarnya yang berkhianat dan berdusta.

Kejadian-kejadian terakhir di negeri ini sedikit banyaknya didalangi orang-orang bermuka dua. Paling tidak ada dua kelompok masyarakat yang saling punya kepentingan. Yang menginkan perubahan damai dan satu pihak lagi mengharapkan kehancuran. Padahal bisa jadi mereka duduk bersebelahan dengan kita. Allah SWT. berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS: Al Baqarah: 8). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi (menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi orang-orang Islam). Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan  perbaikan.” (QS. Al Baqarah: 11).

Usaha maksimal dalam membina diri agar tak melekat cap munafik dalam diri kita memang sangat ditunjang dengan semangat ingin melakukan revolusi berfikir dalam diri kita. Memilih dan memilah setiap langkah yang akan dikerjakan adalah sebuah konsekuensi (tindakan nyata) dalam usaha kita. Menganalisis setiap perkembangan yang terjadi, memahami dan menentukan keputusan juga dalam rangka waspada terhadap kejahatan orang-orang bermuka dua. Tentu semua itu disandarkan pada penilaian yang objektif dan dengan pikiran yang mendalam dan jernih. Kita mesti yakin bahwa Allah akan memberikan kekuatan kepada orang-orang yang meninggikan kalimat-Nya, meskipun perjuangan itu harus berhadapan dengan para musuh dalam selimut alias orang-orang munafik.

Salam,

O. Solihin