By: Moenir

Imagine there’s no countries,
It isnt hard to do,
Nothing to kill or die for,
No religion too,
Imagine all the people
living life in peace…

Ugh, sudah dua malam aku tak bisa tidur. Suara gitar anak-anak tongkrongan dari seberang jalan selalu mengganggu. Apa sih maunya mereka? 1, 2, 3… sekitar 6 orang. Oh, andai mereka tahu, a..ku tersiksa…!
Kuraih wekerku, “Masya Allah, sudah jam tiga pagi, tapi mengapa suara gitar itu masih terdengar? Ya Allah, kapan aku akan tidur?” akhirnya aku bangkit dari ranjang dan duduk lagi di tepinya.
Anak-anak tongkrongan itu terus saja memainkan gitarnya, tanpa lagi peduli orang lain di sekitarnya. Tapi yang membuat aku bingung, apakah semua warga di sini merasa nyaman, atau sudah terbiasa dengan suara ribut anak-anak itu? Hmm.. Mataku berkaca-kaca, perih menahan kantuk. Anganku melayang, menembus masa lalu yang tidak jauh beda dengan anak-anak itu. Satu nama yang terlintas dalam diari neuronku. “Deni”. Makhluk gondrong berkaca-mata, lugas dan berani, bergaya bak Che Guevara dengan Army Jacketnya. Ah, di mana dia sekarang? Padahal dulu kami selalu bersama. Tinggal sekos, makan dan minum bersama, bahkan kami berdua pun terjun ke dunia malam di kota Bandung bersama. Nongkrong bareng makhluk-makhluk ‘Sparta’ di BIP, berpogo di GOR Saparua, sampai bareng-bareng uji nyali anarchysme-nya Bakunin.
Deni pernah bilang, “Kapitalisme itu iblis sejati. Menjerumuskan manusia, bahkan hasilnya lebih parah dari hanya manusia yang kerasukan setan. Dan buktinya, manusia yang hidup sekarang rupa-rupa. Ada yang individualis1, hedonis2, permisif3, atheis4 dll.” Benar juga, sih. Buktinya setelah sekian lama kami bersama, membagi hati, nurani dan tenggelam dalam amor fati5. Kami berdua akhirnya berpisah. Deni membetahkan akal dan pikirannya di sudut kiri ruang peradaban, sedang aku yang sebelumnya telah ‘menyerah’ dalam diskusi dengan seorang ustadz yang mantan orang ‘kiri’, mulai bergeser ke arah kanan jalur kehidupan.

15 Januari 2001

“Udah deh Ri, nggak ada gunanya lo khutbahin gue. Tuhan sudah lama mati, semoga Dia damai di sana” ujarnya sambil menutup On Religion-nya Karl Marx dan Engels.
“Den, Tuhan memang udah mati. Ia dibunuh oleh manusia yang super bodoh dan memaksakan pikirannya dengan mengenyahkan-Nya. Tapi bagi mereka yang pintar, yang meyakini-Nya dan melihat sendiri bukti kuasa-Nya, Dia kekal, abadi dan tanpa cela.” Timpalku.
“Oh, ya? Ri, buka mata lo lebar-lebar. Apa bukti Tuhan ada? Surga, neraka, pahala dan dosa? Semuanya imajiner, Ri. Lihat fakta yang terjadi, pembunuhan, penindasan, konflik, perang dan kerusakan atas nama agama terus terjadi. Pahala dan surga seolah menjadi janji busuk penguasa pada rakyat jelata, yang sudah tidak punya harapan hidup. Bagi yang baik, ada balasan surga, dan bagi yang jahat, ingatlah neraka. Apakah Tuhan itu ada untuk menjadi seorang akuntan yang menghitung baik dan buruk manusia untuk diganjarnya dengan surga dan neraka? Pemikiran inilah yang secara tidak sadar telah mengkerbaukan manusia. Manusia menjadi bodoh, dan addicted pada si Tuhan itu.”
“Den, kamu tidak bisa menyamakan Tuhan dengan para pejabat kapitalis. Kamu menyamakan mereka dengan Tuhan karena kamu sudah menjauhkan diri dari realita kehidupan bahwa Tuhan itu ada. Kamu apatis terhadap Tuhan. Lihatlah alam sekitarmu, bagaimana mungkin sesuatu yang teratur terjadi begitu saja tanpa ada yang menciptakan dan mengendalikannya. Dan jika manusia yang serba terbatas ini akhirnya ‘kecanduan’ pada Tuhannya itu wajar, dan sah-sah saja. Tengoklah dirimu sendiri yang masih ketergantungan pada kiriman orang tua di kampung sana. Manusia dengan segala keterbatasannya, lebih buruk dari bayi. Jika seorang bayi akan mampu berdikari saat dewasa, tapi manusia akan terus berdialektik6 dalam kehidupan. Dan proses itu tidak akan sempurna tanpa bimbingan, petunjuk dan ketergantungan pada Yang Maha Sempurna”
“Ha..ha..ha..” Deni tertawa terbahak. “Itulah, Ri. Ketergantungan itu harus dihapuskan. Manusia bisa berdiri sendiri dengan kakinya. Hanya manusianya saja yang tidak yakin. Bodoh! Satu saat nanti, manusia akan berdiri bersama, tanpa ada perbedaan ras, suku, bangsa, tanpa agama, dan negara. Tapi hal pertama yang harus dilakukannya adalah membuang dogma keparat soal Tuhan.Coba kau baca buku itu…” katanya sambil menunjuk buku bersampul putih tulisan Nietzche7.

Requiem Aeternam Deo!8
Bagaimana kita, para pembunuh Tuhan merasa diberikan hiburan? Dia Yang Maha Kudus dan Maha Kuasa milik dunia, kini telah mati kehabisan darah oleh pisau-pisau kita. Siapakah yang akan menghapuskan darah itu dari kita? Dengan air apa kita akan mensucikan najis itu dari diri kita? Perayaan tobat apa dan pertunjukan kudus yang bagaimana yang harus kita adakan? Bukankah tindakan itu begitu dahsyat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sebagai Tuhan agar lebih bernilai dan manusiawi?… Sejak saat ini, generasi sesudah kita akan mencatatnya dalam diari, dengan makna yang begitu tajam, setajam pisau yang telah kita pakai untuk menghabisi Tuhan!9

“Deni…Deni. boleh saya ketawa sebentar?” tanyaku sambil menutup buku bersampul putih itu. “Den, kamu lihat buku ini, apa bedanya dengan mushaf al-Quran? Dan kamu lihat siapa penulis buku ini? Apa bedanya dia dengan Allah Swt.? Kamu nggak sadar kalau sebenarnya usahamu untuk membunuh Tuhan telah gagal. Kamu nggak mampu membunuh-Nya. Lihat, kamu cuma mengalihkan pandanganmu dari Tuhan pada Nietzche. Kamu membuang jauh-jauh al-Quran dan mengambil buku yang lain. Kamu menuduh dinamisme sebagai kebodohan, padahal dengan tidak sadar kamu telah mentuhankan Nietzche.” Kataku sambil menaruh kembali buku tersebut.
“Sudahlah, Den. Allah telah mengkaruniakan pada manusia naluri untuk mensucikan sesuatu. Dan ini yang telah kamu buktikan dengan aktivitas penyembahanmu pada Nietzche. Saya pikir, kamu juga ngerti kalau aktivitas menyembah manusia itu sebagai kebodohan. Dan dunia yang pernah kita diami bersama dan bekas luka lama yang menganga telah mempengaruhi pikiran kamu untuk terus mendustakan Dia dan keberadaan-Nya. Saya yakin kamu cukup intelek untuk mengakui ketidakmampuanmu itu.” Kataku sambil berusaha menutup mata.
***
17 Januari 2001

“Dear Ari
Sori, malam ini gue pulang telat. Ada pertemuan di kampus. Please, jangan kunci dulu pintunya. Dan gue pingin ntar lo jangan tidur dulu. Gue pingin ngobrol lagi sama lo. Nggak ada waktu untuk besok. Karena besok, gue nggak bisa lagi tinggal satu kamar sama lo.

Deni

Sudah lebih dari jam satu malam saat aku tersentak karena Bad Religion10 yang kuputar habis. Maklum aja, Bapakku yang cuma kuli tani yang belum lama pulang dari pembuangan di Pulau Buru karena dulu terlibat G-30-S/PKI, nggak mampu untuk membelikan aku compo yang ada directionnya. Bisa kuliah aja sudah alhamdulillah banget. Soalnya, dulu waktu mau bikin KTP saja susahnya setengah mati.
Deni belum juga muncul, padahal udah lewat tengah malam. Kuputar kembali kaset itu lagi, dan tak lama, Gregg Graffin and the gank pun kembali bernyayi.
“Tok..tok..tok..” Kudengar suara pintu diketuk, dan sesosok tubuh masuk kemudian.
“Sorry friend, gue telat. Rapat di kampus seru banget. Saking serunya, sampai lupa pulang.” Kata Deni sambil menaruh back packnya dan menyeruput kopiku.
“Emang rapat apa sih sampai malam begini?” tanyaku.
“Rapat gabungan komisi. Mulai besok, gue nggak bisa nemenin lo lagi di kamar ini. Gue diamanatkan untuk tinggal di daerah Lengkong Kecil selama 1 tahun, berbaur dengan warga di sana yang jadi tukang becak.”
“Hah, yang bener? Kok kamu mau?”
“Amanat revolusi, Ri. Lo inget The Red October11 Sovyet dulu? Aktor perubahan mendasar itu kebanyakan kaum proletar12 yang telah tercerahkan. Dan di negeri ini, para abang becak termasuk di dalamnya. Pemikiran mereka harus dicerahkan” Jelasnya.
“Den, kalau kamu serius, saya nggak bisa melarang. Emang, ideologi yang ada di tanganmu beda dengan yang ada di tanganku. Tapi saya pikir, apapun ideologinya, Islam, Sosialisme-Komunis, maupun Kapitalisme-Sekular, pasti sepakat bahwa keterikatannya dengan kaum proletar, tidak bisa dipisahkan. Terserah kamu saja, saya sudah berusaha menyadarkan. Semuanya kembali pada lo. Dan seperti yang Marx bilang, jika dua orang jenius berada dipersimpangan jalan dan akhirnya mereka berpisah, satu saat mereka akan bertemu pada sebuah sintesa yang sama,” kataku.
“Gue salut sama lo, Ri. Apa yang lo pegang sekarang, beda banget dengan yang orang lain pegang. Sebuah keyakinan yang komprehensif dan mampu melahirkan sebuah ideologi. Entah mau dikatakan sebagai apa. Sebuah agama dan sebuah ideologi. Gue nggak ngerti, selama ini yang gue pahami bahwa keterikatan di antara keduanya memang ada, tapi sebatas interest, interest, dan interest. Tapi sekali lagi, yang lo pegang sekarang beda! Gue yakin, andaikan nanti kita masih berseberangan, kita akan kembali bertemu. As a friend or as an enemy. Konsentrasi kita sekarang adalah, menghancurkan gurita kapitalis” timpalnya.
“As an enemy? Nggak deh.”
“Why, man? Ini ideologi. Nggak boleh ada kompromi!”
“Bukan itu, lo kan masih punya utang ama gue, kalo lo mati, siapa yang bayarin utang lo?” kataku sambil ngeloyor ke kamar mandi.
“Parah, lo!”
“Oh, iya Den. Tadi siang saya mampir ke ISTEK Salman. Nih, ada sesuatu buat kamu. Saya yakin, kalo kamu paham isinya, kamu bakal bilang “Bangsat, keren amat nih buku!” seperti saat kamu pertama kali baca In Defence of Marxismnya Trotsky.” Ujarku sambil menyerahkan bungkusan kecil bersampul coklat.
“Apa, nih?”
“Bukan apa-apa, cuma al-Quran dan terjemahnya. Terserah kamu, mau buka sekarang atau nanti. Tapi pesan saya, baca baik-baik saat kamu pusing, karena saya jamin, masalahmu akan terselesaikan.”
“oke deh, good night and thank you, bro”
***

Maret, 2003

“Assalamu’alaikum,” sesosok suara menyapa dari belakang. Kupalingkan wajah dari hiruk-pikuk keramaian.
“Maaf, anda Ari, kan?” tanya orang itu
“Benar, tapi anda siapa, ya?” jawabku.
“Lo nggak inget gue?” orang itu balik bertanya. Tapi sayang, yang ditanya cuma bisa geleng-geleng kepala “Perkenalkan, saya insinyur Deni Setiawan.” Aku melongo, asli, nggak percaya. Subhanallah…
“You are right, man! Dua orang jenius yang dipersimpangan jalan, meski mereka berpisah, namun jika idealismenya tetap pada kebenaran, dan bukan ego, pasti mereka akan bertemu kembali. Di sini, di jalan Islam. And thanks for the Quran” Ujarnya semangat.
“Insya Allah”[]

—-
”Malam memang gelap, tapi ada bulan dan bintang di sana. Dan mereka yang ada di jalanan, tidak selamanya sampah. Mereka juga manusia, yang punya bekal hidup yang sama seperti kita.
JANGAN TINGGALKAN MEREKA!!”
(4 all people in Liberation Youth, keep moving 4 change, dude!)

Footnote:
1. Paham yang dibangun di atas asas kepentingan pribadi
2. Paham yang dibangun di atas asas kesenangan dunia
3. Paham yang dibangun di atas asas serba boleh
4. Paham yang mematikan keberadaan Tuhan
5. Amor fati adalah kecintaan akan hidup dan ketidak-sudian untuk melarikan diri ke dunia akhirat sebagai kompensasi penderitaan di dunia ini. (Donny Gahral Adian. Arus Pemikiran Kontemporer. Jalasutra, 2001. Yogyakarta)
6. Dialektika adalah perubahan/perkembangan
7. Nietzche, Filsuf asal Jerman yang terkenal dengan paham ubermensch (adi-manusia). (Bernd Magnus dan Kathleen Higgins, The Cambridge Companion to Nietzche. Cambridge University Press. New York-1996)
8. Semoga Tuhan Beristirahat dalam kedamaian yang abadi
9. Nietzche, verrücktmann Aforism (Aforisme Orang Gila), Universität Stuttgart. Jerman, 1978
10. Grup Band Punk Asal Amerika yang giat menyerukan ide-ide sosial lewat musik, sekaligus mengecam pemerintahan dan kehidupan masyarakat AS.
11. Vladimir I. Lenin dan Partai Bolsheviks melakukan serangkaian upaya revolusi, yang dimulai sejak konferensi dan demonstrasi pada April 1917. (Leon Trotsky, The Lessons Of October. Pravda. Moscow-1924.
12. Rakyat jelata

[Source: Majalah SOBAT Muda, Edisi 01/September 2004]