gaulislam edisi 865/tahun ke-17 (12 Zulqaidah 1445 H/ 20 Mei 2024)

Rasa-rasanya jarang banget di antara kita-kita yang sering nginget-nginget soal dosa. Justru sebaliknya kita paling asyik dan hot kalo ngomongin tentang kebaikan kita. Mungkin itu naluriah kali, ye? Manusia kan punya harga diri. Itu sebabnya manusia bisa malu kalo dirinya dianggap rendah di hadapan orang lain. Siapa sih yang nggak malu kalo ketahuan kita berbuat salah? Pasti malu banget. Loss pride. Iya kan?

Rasa malu ini sebenarnya wajar. Cuma mungkin penempatannya kudu diperhatikan dengan baik. Kalo kita malu sama orang ketika kita berbuat salah, rada-rada mendinglah. Tapi kalo kemudian diem-diem tetap melakukan kesalahan tersebut, nah ini yang bandel. Dan mungkin nggak punya rasa malu sebenarnya.

Lebih hebat lagi kalo kita punya rasa malu sama Allah Ta’ala. Wuih, keren banget tuh. Kalo malu kepada manusia dibilang masih “mending”, tapi malu kepada Allah itu yang luar biasa hebatnya. Kalo kita malu kepada manusia wajar, karena manusia bisa dilihat sama kita dan kita pun bisa melihat manusia lainnya. Jadi dari sisi psikologis kita malu kalo perbuatan kita ketahuan sama orang lain.

Itu sebabnya, minggat dari sekolah pada jam pelajaran, kebanyakan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Kalo puasa Ramadhan makan di siang hari, banyak teman kita yang sangat malu. Makanya, pas makan di restoran or sekadar di warteg pasti tuh warung ditutupin pake kain (kayaknya cuma Ramadhan aja tuh warung pake hijab). Begitu pun para pelaku kriminal yang ketangkep dan dihadirkan saat konferensi pers, hampir selalu di antara mereka menutup wajahnya kalo di-shoot sama kamera televisi. Malu.

Oya, kalo konteksnya adalah mengingat dosa lalu nggak mau ngelakuin lagi, masih bagus. But, gimana kalo malah bangga berbuat dosa? Ini pernah dibahas di edisi sebelumnya. Kamu bisa searching, ya. Poinnya adalah, gimana gimana mau menghentikan dosa kalo malah bangga berbuat dosa? Lihat aja di youtube, berapa banyak tuh yang pamer buka aurat, di TikTok juga banyak, di Instagram nggak sedikit, nggak kalah bejibunnya di Facebook. Aduh, ngeri banget. Kalo yang model gini sih, rada jauh dari rasa malu. 

Sobat gaulislam, kita pun rada-rada malu kalo harus nyeritain dosa kita kepada teman-teman. Aib euy. Iya sih, tapi itu masih wajar, lho. Kategorinya nggak wajar tuh kalo kita nggak malu dan terus berbuat dosa. Misalnya aja, dengan bangga ada orang yang bilang ke teman-temannya kalo dia tuh udah ngelakuin seks bebas, udah nyoba narkoba, udah ngerampok dsb. Bahkan dengan hebatnya bisa ngitung pasti jumlah maksiat yang dikerjakan. Tapi bukan untuk dijadikan pelajaran dan dia meninggalkan perbuatan itu, tapi malah direken sebagai prestasi hidupnya. Waduh!

Tapi rasanya kita juga harus meluangkan waktu untuk merenung. Berhenti sejenak dari segala aktivitas hidup kita. Kita coba menghitung dosa yang pernah kita lakukan. Kalo yang besar-besar dan mungkin sering kayaknya kita inget. Tapi berapa pasti jumlah keseluruhan dosa yang pernah kita buat mungkin nggak tahu. Karena jarang juga ada yang mau menghitungnya. Mungkin karena malas atau memang nggak peduli.

Sobat, dosa yang kita perbuat memang nggak perlu dan jangan dipublikasikan kepada orang lain. Tapi kita boleh mengingatnya agar tak pernah lagi kita lakukan di masa yang akan datang. Kita wajib malu sama Allah Ta’ala. Itu sebabnya, kita selalu minta ampunan dalam doa-doa kita setelah selesai shalat atau di setiap saat. Karena kita sangat yakin, bahwa ada aja dosa besar ataupun kecil yang kita buat dalam hidup ini. Meski kita beramal baik juga, tapi kita senantiasa khawatir kalo-kalo tuh dosa lebih banyak ketimbang amal baik kita. Jadi, pantas banget kan kalo kita memohon ampunan kepada Allah Ta’ala?

Jangan sombong dong, sehingga tak pernah minta ampun kepada Allah Ta’ala. Apalagi kalo terus berbuat dosa dengan alasan itu dosa kecil. Inget Bro en Sis, kecil juga kalo ditumpuk jadi besar. Sedikit juga kalo ditabung terus jadi banyak. Awalnya malu berbuat dosa, tapi lama-lama bisa tebal muka karena merasa terbiasa. Ini gawat. Maka, dari sekarang deh mulai introspeksi tentang dosa-dosa kita. Siap?

Dosa menghalangi ilmu dan rezeki

Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan Imam Malik. Ketika itu Imam Malik terkesima dengan kelebihan yang dimiliki Imam Syafi’i. Lalu Imam Malik berkata, “Allah telah menganugerahkan seberkas cahaya dalam hatimu, maka janganlah sekali-kali kamu memadamkannya dengan kegelapan maksiat.”

Namun pada suatu hari ketika Imam Syafi’i sedang dalam perjalanan menuju rumah gurunya, Waki’ Ibnul Jarah, sepertinya beliau lupa wasiat Imam Malik tersebut. Ia melihat tumit seorang wanita, meski tanpa sengaja. Apa yang kemudian terjadi? Banyak hafalannya yang terlupakan, padahal ia terkenal mampu menghafal persis seperti yang tertulis, bahkan agar hafalannya tak tercampur ia meletakkan sebelah tangannya di atas lembaran berikutnya. Imam Waki’ pun kembali mengingatkan Syafi’i terhadap nasihat Imam Malik, yaitu agar ia meninggalkan dosa sebagai obat manjur menguatkan hafalannya.

Imam Syafi’i kemudian mengakui ‘penyesalannya’ (padahal itu nggak sengaja, lho) dengan mengatakan, “Kuadukan kepada Waki’ buruknya hafalanku. Maka ia menasihatiku agar aku meninggalkan maksiat. Ia juga mengingatkanku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat.” (Dr. Khalid Abu Syadi, Alangkah Buruknya Dosa, hlm. 13-14)

Sobat gaulislam, nggak kebayang gimana kalo seandainya orang seperti Imam Syafi’i hidup di zaman kita. Pasti sulit banget untuk terhindar dari dosa. Gimana nggak, begitu keluar rumah aja banyak dijumpai wanita yang bukan mahram kita membuka auratnya. Bukan hanya tumit yang kelihatan seperti yang tak sengaja dilihat Imam Syafi’i, justru bisa jadi zaman sekarang banyak wanita yang kelihatan seluruh tubuhnya kecuali tumitnya. Bahkan di dalam rumah pun, banyak remaja dan siapa pun malah bisa dengan sengaja mengakses pornografi dari smartphone-nya, kok. Internet udah jadi pisau bermata dua. Bisa digunakan untuk kebaikan, tetapi bukan tak mungkin malah digunakan untuk keburukan. Ngeri, pake banget.

Duh, mungkin ini juga yang bikin banyak di antara kita yang sangat buruk hafalannya. Karena setiap hari kita menyaksikan aurat wanita di mana-mana. Termasuk buat yang perempuan juga lho, mereka sering ngelihat aurat kaum cowok. Meski mungkin jumlahnya lebih banyak kaum cewek yang ‘terbuka’.

Ya, kayaknya kita juga kudu introspeksi diri kalo banyak di antara kita yang bodoh dan sedikit ilmu. Selain karena nggak pernah belajar (mungkin sebagian lagi karena nggak bisa belajar karena nggak punya duit untuk sekolah), juga karena kita banyak berbuat maksiat. Sehingga ilmu nggak bisa mampir kepada orang yang selalu berbuat maksiat. Kita jadi sulit belajar. Naudzubillahi min dzalik.

Syaikh Abdul ‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata (dalam Majmu’ Fatawa ibn Baaz, jilid 5, hlm. 174), “Wajib bagi Anda, wahai seorang muslim, untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza Wajalla agar Dia memperbaiki kerusakan yang dulu Anda lakukan dan mengembalikan (rezeki) yang belum Anda dapatkan.”

Beliau melanjutkan penjelasannya dengan menukil hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar terhalangi dari rezeki disebabkan karena dosa yang ia lakukan.”

Maksiat tuh ngilangin rasa malu

Berbuat dosa alias maksiat kepada Allah Ta’ala bisa ngilangin rasa malu, lho. Beneran. Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perkataan (sabda) Nabi paling pertama yang dikenal atau diketahui manusia adalah, “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ahmad)

Jangan salah lho, hadis ini pemahamannya bukan berarti bahwa Rasulullah memberikan kebebasan yang membawa manfaat, melainkan mengancam orang yang tidak mempunyai rasa malu dalam melakukan apa saja yang dia kehendaki, padahal risikonya ditanggung sendiri, tuh. Ungkapan itu seperti firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushshilat [41]: 40)

Malu yang baik bisa mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nuraninya. Perbuatan yang akan membuatnya merasa dikejar-kejar rasa bersalah. Dengan malu pula, kita bisa mencegah diri ketika akan melakukan dosa. Secara naluri memang demikian, siapa pun orangnya yang masih punya hati nurani. Dan memang hanya rasa malu yang mampu membawa kepada kebaikan. Sabda Nabi yang mulia: “Malu hanya membawa kepada kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya rasa malu itu merupakan pagar yang paling kokoh untuk menjaga kita supaya sendi-sendinya tidak tercerabut dan bangunannya tidak hancur. Sebagai contoh, kalo ada di antara kita yang pacaran dan gaul bebas, lalu sadar dan merasa bahwa perbuatannya itu bertolak belakang dengan keimanan dan agamanya. Kemudian merasa malu untuk melakukan kebiasaannya, hingga akhirnya menjadi anak yang baik, shalih, taat sama agamanya. Dengan begitu, insya Allah selamatlah dia. Namun lebih parah lagi, bila ada orang yang sudah sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang salah, tapi ternyata masih getol melakukannya. Benar-benar orang tersebut tidak punya rasa malu.

Cuma masalah berikutnya, tanpa kita sadari ternyata kita sering mengabaikan sikap yang satu ini. Entah karena kita sudah merasa bahwa tak perlu punya rasa malu lagi, atau memang tak tahu malu. Pepatah baik yang disampaikan kepada kita dari siapa pun sering kali kita mendiamkannya. Padahal, saat itu kita sedang melakukan perbuatan yang memalukan. Malu-maluin!

Jangan merasa aman

Sobat gaulislam, kadang kita merasa aneh yang punya bapak heran alias aneh bin heran ketika melihat mereka yang berbuat maksiat itu banyak juga yang malah hidup enak. Hidup berkecukupan. Punya jabatan mentereng, mobil mewah, rumah megah, dan kekayaan melimpah. Kondisi hidupnya itu ditunjang karena hasil dari usaha membuka rumah judi, menjual minuman keras dan jadi bandar narkoba. Sementara kita yang insya Allah taat kepada Allah dan sepenuh hati melaksanakan ajaran Islam, kok malah hidup miskin dan menderita?

Kadang kita heran juga ngelihat para pesohor dari kalangan politikus, influencer, dan pengusaha malah aman-aman aja dan hidup tenang serta menikmati kebabasan dan kekayaan yang dimilikinya. Banyak juga yang maksiat tuh pinter-pinter dari sisi akademik. Apa skenario Allah di balik ini?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kamu menyaksikan seorang hamba mendapatkan dari Allah Ta’ala apa yang ia sukai dari kehidupan dunia, tetapi ia terus berkecimpung dalam kemaksiatan, maka ketahuilah bahwa semua itu hanyalah istidraaj.” (dalam kitab Wa Aswataah Wa In ‘Afauta)

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS al-An’aam [6]: 44)

Nah, dari ayat ini bisa dipahami tentang makna istidraaj, yakni penangguhan hukuman dan ditundanya azab. Itu sebabnya, jangan merasa aman ketika kita telah begitu banyak dikelilingi kemewahan hasil perbuatan maksiat kita. Jangan merasa bangga hidup berkecukupan meski selalu berbuat dosa. Karena, itu hanya penangguhan saja dari Allah.

Semoga teman-teman kita cepetan sadar, ya. Memang sih anak keturunan Adam nggak bisa lepas dari dosa. Tapi, sebaik-baik yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat. Taubat nggak mau ngelakuin maksiat lagi. Menghindari maksiat dan senantiasa taat kepada Allah Ta’ala dan berharap ampunan dari-Nya.

Kita pantas untuk waspada, karena Allah sudah menggambarkan tentang keadaan orang-orang kafir. Nggak mau kan kita digolongkan dengan mereka? Allah menjelaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zukhruf [43]: 33-35)

Oke deh, semoga tulisan sederhana di buletin ini membuat kita tercerahkan dan senantiasa mengingat dosa-dosa yang pernah kita lakukan dan berusaha untuk bertaubat dan tak akan pernah melakukannya lagi. Jangan pula malah bangga berbuat dosa. Nggak banget. Semoga kita dimudahkan untuk selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjauhi maksiat dan dosa. Kalo pun harus mengingat dosa-dosa yang udah dilakukan, jadikan hal itu sebagai sarana memperbaiki diri. Tidak mengulang dosa lagi. Nggak mau maksiat lagi. Itu baru keren! [O. Solihin | TikTok @osolihin_]