Rabu, 7 Januari 2015 adalah hari terakhir bagi kartunis Cabu, Charb, Tignous, dan Georges Wolinski yang bekerja di majalah Charlie Hebdo. Keempat orang kartunis itu adalah bagian dari 12 orang yang tewas ketika tiga orang pria bertopeng melepaskan tembakan dari senjata otomatisnya.

Charlie Hebdo adalah majalah yang kerap membuat kartun yang isinya berupa sindiran bahkan sebenarnya sudah masuk kategori pelecehan dan penghinaan, terutama kepada umat Islam. Beberapa di antaranya pernah menghina Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Konon kabarnya, ketiga pria yang melakukan penembakan di kantor majalah tersebut diduga kuat sebagai aksi balasan atau mungkin ‘menuntaskan dendam’ terhadap ‘kelakuan’ Charlie Hebdo.

Saya tak akan berpanjang lebar melakukan penilaian, apalagi analisis. Hal yang tak bisa saya lakukan mengingat saya juga hanya menerima informasi itu dari berita di media massa. Namun, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan agar cara pandang kita tak tergerus opini yang salah, atau opini yang sepertinya benar tetapi justru menjerumuskan dan menjauhkan kita dari cara pandang yang islami.

Apa saja yang menarik dari kasus ini? Pertama, terlepas dari siapa pelakunya dan motif penembakan tersebut, peristiwa ini akan berdampak kurang baik bagi umat Islam di Perancis dan eropa pada umumnya. Selain dampak bagi kaum muslimin, juga setidaknya memunculkan kekhawatiran bagi mereka yang kerap menghina Islam dan kaum muslimin. Kedua, opini media massa dunia dan juga nasional yang terpecah menjadi pro dan kontra. Meski jika diteliti sepertinya lebih banyak yang kontra terhadap pelaku penembakan dan malah membela mereka yang berada di belakang Charlie Hebdo. Ketiga, dilihat dari sudut pandang teori komunikasi massa terkait stigma, labeling dan agenda setting.

Benar, bahwa peristiwa ini akan berdampak kurang baik bagi kaum muslimin di Perancis dan eropa pada umumnya, perlu mendapat perhatian. Namun, kita tak perlu mengkhawatirkan—apalagi menakut-nakuti—bahwa kaum muslimin di sana akan mendapat petaka akibat peristiwa ini. Mungkin saja iya. Tetapi bisa jadi tidak. Jangan menafikan pertolongan Allah Ta’ala. Itu sebabnya, yang kita lakukan adalah mendoakan kaum muslimin di sana agar kuat dan kian semangat menghadapi persoalan pelik seperti ini. Selain mereka sudah terlatih mendapat tekanan, dampak peristiwa ini semoga kian menguatkan keimanan mereka untuk tetap istiqomah bersama Islam. Jika masalahnya adalah akan terjadi penyiksaan dan penindasan, seharusnya kita melihat bahwa sudah sering umat Islam di belahan dunia lain merasakan hal itu. Semoga seharusnya tak menyurutkan semangat. Hadapi dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Di sisi lain, kasus ini akan memberikan efek jera—meski tak 100 persen ampuh—terhadap orang-orang yang melecehkan dan menghina agama atas nama kebebasan berpendapat. Setidaknya mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukannya kembali. Mereka akan menilai untung-rugi karena tak mau bermain-main dengan nyawa mereka.

Bagaimana dengan opini media massa dunia dan nasional dalam merespon kejadian ini? Selalu banyak spekulasi dan juga asumsi. Meski kedua hal itu akan dilontarkan tergantung cara pandang penulisnya. Jika mereka pro kebebasan, tentu saja akan membela Charlie Hebdo. Mereka yang setuju dengan pelaku penembakan, akan menuliskan pembelaannya juga. Bingung? Tidak perlu. Setiap orang itu punya cara pandang. Tetapi sebagai muslim, cara pandang yang wajib dimiliki adalah cara pandang Islam. Maka, pro dan kontra berupa opini dari beragam media massa yang ada, tak usah menjadikan kita pusing. Sebaiknya cermati faktanya, cari sudut pandang Islam terhadap masalah itu. Dakwah, kadang seperti bercocok tanam. Ada yang bertugas menanam dan harus ada yang bertugas mengusir hama. Peristiwa kemarin itu, anggap saja bagian dari mengusir hama.

Lalu apa yang menarik dilihat dari teori komunikasi massa? Buktinya, tak perlu menunggu waktu lama bagi pemerintah Perancis untuk segera mengumumkan bahwa pelakunya adalah mereka yang terlibat dalam jaringan Al-Qaeda. Kesimpulan yang terburu-buru, dan selalu seperti itu jika pelakunya kebetulan muslim. Padahal, adakalanya tak berhubungan sama sekali. Namun, itulah stigmatisasi yang dibangun, labeling yang kerap dibuat, dan tentu sarat dengan agenda setting. Sangat boleh jadi, pihak tertentu ingin mengobarkan kembali proyek memerangi terorisme (baca: memerangi kaum muslimin). Kejadian ini hanya pemicu saja agar bisa dianggap legal untuk melakukan perang tersebut. Sama seperti ketika Amerika Serikat bernafsu memerangi Afghanistan yang dipicu dari peristiwa 11 September 2001. Wait and see.

Setidaknya, itulah sisi menarik versi saya. Ya, menarik dalam artian perlu mendapat perhatian. Bukan bermaksud menciptakan kebingungan bagi pembaca, karena jujur saya juga awalnya bingung mau menulis apa tentang peristiwa ini. Tetapi, pada akhirnya saya menemukan letak ‘yang menarik tersebut’ lalu memutuskan untuk menulis dan inilah hasilnya. Meski singkat dan jauh dari kedalaman, tetapi semoga memberi manfaat.

Salam,
O. Solihin